Selasa, 30 Oktober 2012

0 Semilir Angin, Kapankah???

Praannggg….”
Bunyi itu pun terdengar sampai ke kamar Ridwan. ”suara apa itu?” ucapnya dalam hati. Iapun melangkahkan kakinya dan mencari apa yang sedang terjadi. Tampak ibunya sedang gemetar dan hanya diam terpaku di dapur. ”ada apa bu?” ucapnya. Ibunya terlihat pucat dan berkata ”ibu tak sengaja memecahkannya. Apakah ini ada pertanda buruk?”. Diapun teringat akan sosok ayahnya yang lagi terlibat konflik dengan desa sebelah. Kedua desa, yaitu desa kanjuhuran dan kusangin memang tidak pernah akur selama beberapa tahun ini dan mereka sering terlibat konflik berdarah.

Ridwanpun bergegas pergi keluar tanpa memikirkan tangannya yang luka. ”kamu mau kemana nak?” ucap seorang ibu yang begitu sayang kepada anaknya itu ”lukamu belum sembuh” sambungnya. Diapun langsung pergi menemui ayahnya. ”aku ingin bertemu ayah bu” jawabnya dari kejauhan. ”Ya tuhan lindungilah anak dan suamiku” do’anya kepada sang Maha Pencipta.
Sambil membersihkan beling yang berserakan, ibunya pun merasa gelisah. Bagaimana tidak perkelahian minggu lalu saja telah melukai anaknya. Saat itu Ridwan disabet menggunakan parang dan lukanya cukup serius. Untung saja ia masih bisa diselamatkan. Ia takut hal yang sama akan terjadi pada suaminya. ”kapankah semua ini akan berakhir?” tanyanya dalam hati. ”seperti tak ada habisnya” ujarnya. Diapun hanya bisa terduduk lemas di depan pintu menanti kabar sang suami.
Desa Kanjuhuran dan desa Kusangin adalah dua desa yang bertetangga di kabupaten simuba. Dulunya kedua desa hidup dengan rukun. Tapi beberapa tahun terakhir ini kedua desa tampak tegang. Entah siapa yang memulai konflik ini. Tapi konflik ini terjadi tidak lama setelah pak Mukhlis, yang juga ayahnya Ridwan diangkat warga desa sebagai kepala desa.
Konflik kedua desa ini dilatarbelakangi oleh batas wilayah kedua kampung. Setiap ada masalah kecil, kedua desapun menjadi tegang. Sudah beberapa kali dilakukan proses perdamaian antara kedua kampung, dan sudah beberapa kali pula perjanjian itu hanya hitam diatas putih.
Sudah banyak yang harus dikorbankan dari pertikaian antara kedua kampung. Mulai dari waktu, harta benda, sampai kepada nyawa. Hidup damai dan tentram hanyalah menjadi mimpi yang mungkin suatu saat akan menjadi kenyataan bagi kedua kampung.
Dari jauh terlihat seorang sosok yang sedang memapah orang yang terluka. ”mak, tolong bapak mak! Bapak terluka” suara sosok itu dari kejauhan yang tidak terdengar jelas. Sekejap saja sosok yang sedang duduk didepan pintupun beranjak dari peraduannya. Sosok itupun segera berlari mendatangi kedua sosok itu. ”kenapa dengan bapak mu nak?” tanya ibu yang tua renta itu. ”bapak tersabet parang mak” jawabnya sambil menghela nafas. ”aku menemukannya di perbatasan desa” sambungnya. ”bawa bapakmu masuk” ucap ibu syariah-ibu Ridwan-.
Akhirnya, konflik kedua desa dapat juga mereda. Pak Drajat-orang kepercayaan pak Mukhlis- mau berunding dengan pak Rahmat-kades kusangin-. Dengan adanya perundingan ini ketegangan dua desapun dapat dikurangi untuk sementara. Namun bukan berarti konflik ini benar-benar berhenti. Sudah berulang kali perjanjian hanyalah jadi perjanjian, tidak pernah direalisasikan dalam tindakan yang nyata. Kedua desa sepakat untuk menghentikan konflik yang sedang berlangsung. Mungkin mereka sudah lelah dengan semua yang terjadi. tapi demi harga diri mereka, hal itu mereka kesampingkan. Bagi mereka lebih baik mati membela kampung dari pada harus mengalah dan menyerahkan batas desa.
Haripun berlalu, kini tidak tampak lagi konflik badan antara kedua desa. Tetapi suasana tegang antara kedua desa masih terasa. Warga kanjuhuran yang biasa mencari nafkah di perbatasan kedua desapun tidak berani untuk mendekat dan bekerja. Mereka hanya beraktifitas didalam kampung.
”maling…maling…” terdengar suara teriakan disubuh hari. Mendengar teriakan itu, wargapun terbangun dan langsung mencari sumber teriakan. Dilihat warga dua orang suami istri yang berdaya sedang terkapar di ruang tamu rumah mereka. Pintupun dalam keadaan terbuka. Ternyata itu adalah pak Syukron dan istrinya. Maling tersebut tidak hanya mengambil harta pak Syukron tapi juga melukai keduanya.
Dari kejauhan, tampak sosok yang sedang kekelahan seperti habis mengejar sesuatu. ”malingnya lari kesana” ucapnya terengeh-engeh. Ternyata itu adalah si Madin. Ia adalah penjaga pos ronda. ”kemana?” tanya seorang warga untuk memperjelas. ”itu…” ucapnya sambil. ”kemana?” tanya warga yang lain. ”kedesa sebelah”. ”apa?” wargapun mulai curiga bahwa maling tersebut adalah warga desa kusangin.
Tiba-tiba ditengah mereka datanglah Ridwan yang terbangun karena teriakan tadi. ”ada apa ini?” ucapnya keheranan. ”ini…pak Syukron kemalingan. Pak Syukron juga dibacok oleh tu maling” ucap madi-salah seorang warga desa-.”malingnya lari kedesa kesebelah wan” sambar Madin. Ridwanpun merasa heran dengan semua ini. Bagaimana mungkin malingnya bisa dari desa sebelah. Perbatasan kedua desa saja dibatasi oleh dua orang penjaga di masing-masing desa. ”sudahlah, biar aku yang akan menyelesaikannya. Sekarang kalian bantu pak Syukron”
Ridwanpun bergegas pergi kerumah untuk menemui ayahnya. Sesampainya di rumah, ia melihatnya ayahnya ada di ruang tamu bersama pak Drajat. Kebetulan waktu itu pak Drajat sedang bermalam di rumah pak Mukhlis. Iapun segera menghampiri ayahnya. ”apa yang terjadi tadi nak?” tanya ayahnya. ”rumah pak Syukron disatroni maling” jawabnya. ”maling?… pasti maling itu dari desa sebelah” sambung pak Drajat. ”kok bapak bisa tahu?” tanya Ridwan keheranan. ”memang benar apa yang dikatakan pak Drajat, Ridwan?” tanya ayahnya. ”kata pak Madin sih seperti itu” jawabnya.
Hati pak Mukhlispun memanas mendengar berita itu. ”bapak tenang saja. Belum tentu lagi malingnya adalah warga desa sebelah. Kita harus membuktikannya” kata Ridwan yang ingin kedua desa hidup dalam perdamaian. ”tak mungkin” sela pak Drajat. ”bapak tidak percaya dengan pak Madin. Ia penjaga pos, tentu ia melihat kemana maling itu pergi!” tambahnya. Pak Mukhlispun bingung dengan keadaan ini. Ia harus memilih antara anaknya dan orang kepercayaannya. ”pak, sudahlah pak. Kita akhiri saja semua konflik ini. Tidak ada gunanya konflik yang terus berkepanjangan ini” ucap Ridwan mencoba untuk membuka hati ayahnya. ”tidak bisa!!” sambar pak Drajat.”ini adalah demi harga diri. Kalau kita berdamai kepada mereka, berarti kita kalah” sambungnya. ”bapak jangan coba mempengaruhi bapak saya ya?”
Suasana di rumahpun menjadi tegang. Perang mulut antara Ridwan dan pak Drajatpun mulai berkoar. Ridwanpun akhirnya memutuskan pergi kedesa sebelah untuk menyelesaikan kasus ini. Pada awalnya ayahnya tidak mengizinkan Ridwan untuk pergi karena dia takut terjadi sesuatu pada anak semata wayangnya itu. Tapi kemauan si Ridwan akhirnya memaksa ayahnya untuk mengizinkannya pergi kedesa sebelah.
”perdamaian itu akan datang” ucapnya sambil berlalu meninggalkan rumah. Dengan mengusung perdamaian iapun pergi kedesa sebelah untuk berunding. Ia ditemani oleh si Amar teman dekatnya. Ia harap apa yang ia lakukan ini akan membawa semilir angin perdamaian.
Sesampainya di perbatasan desa ia dan Amar dicegat oleh orang yang tidak dapat ia kenali. Disitulah mereka dibacok, hingga akhirnya Ridwanpun tewas. Ternyata Amar dapat menyelamatkan diri dari peristiwa itu, walaupun ia menderita luka bacok. Amarpun kembali kedesa dengan luka parah dibagian kaki.
”pak, Ridwan kemana?” tanya bu Syariah kepada suaminya. ”Dia pergi kedesa Sebelah bu” ucap suaminya. ”perasaanku jadi tidak enak gini pak? Ada urusan apa dia pergi kesana?” tanya ibu Ridwan. ”Dia mau berunding dengan desa sebelah” ucap suaminya.
Datanglah Amar dengan luka parah yang dideritanya. ”ada apa Mar? Mana si Ridwan?” tanya pak Mukhlis. ”Si Ridwan Meninggal pak. Ia dibacok orang di perbatasan” ucap si Amar terengeh-engeh. ”Apa? Siapa pembunuhnya? ” tanya pak Mukhlis dengan perasaan sedih.
Terlihat sosok yang sedang berlari kearah rumah Pak Mukhlis. ”ada berita pak!” ucapnya. Ternyata itu adalah si Madi. ”ternyata malingnya adalah si Udin warga desa kita” ucapnya. ”si Madin hanya berbohong pak, ia disuruh oleh pak Drajat” sambungnya. Mendengar laporan ini pak Mukhlis merasa bersalah dengan anaknya. Iapun bertekuk dan menyadari bahwa sikapnya selama ini salah. Ia pun berjanji akan mewujudkan cita-cita anaknya untuk mewujudkan perdamaian.
”kita datangi pak Drajat!” kata pak Mukhlis dengan tegas. Warga bersama kepala desapun mendatangi rumah pak Drajat. Disana mereka menemukan rumah pak Drajat dalam keadaan kosong. Ternyata pak Drajat telah mengetahui hal ini dan segera pergi untuk menghilangkan jejak.
Akhirnya, pak Mukhlis luluh hatinya setelah kematian anaknya. Kini tak ada lagi yang menghalangi ia untuk berunding dengan desa sebelah. Selama ini ketika pak Mukhlis ingin berunding dengan desa sebelah, pak Drajat selalu menghalangi perundingan itu. Hal ini dilakukan pak Drajat untuk mengambil alaih kekuasaan di desa ini. Terakhir, terdengar kabar bahwa orang yang mebunuh Ridwan adalah orang suruhan pak Drajat.
Jenazah Ridwanpun akhirnya dibawa pulang untuk dimakamkan. Didepan jenazah anaknya pak Mukhlis berjanji akan mewujudkan perdamaian di dua desa. ”perdamaian yang engkau impikan akan segera terwujud nak. Terima kasih karena engkau telah membukakan pintu hatiku. Sebentar lagi kami akan merasakan nikmatnya semilir angin yang engkau perjuangkan” ucapnya.
Cerpen Karangan: Afriansyah
Facebook: Afri chemios/Afri Vhd d’castro
mahasiswa kimia di universitas riau

0 komentar:

Posting Komentar